Jumat, 22 Oktober 2010

history of tattoo

TATO, body painting atau rajah adalah gambar symbol pada kulit tubuh yang di ukir dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan symbol itu di hias dengan pigmen berwarna-warni. ZAman dulu, orang,orang masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk menato seseorang. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang binatang untuk proses pembuatan rajahnya. Di kuil-kuil Shaolin malah memakai gentong tembaga yang panas untuk mencetak gambit Naga pada kulit tubuh. Murid-murid Shaolin yang dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan symbol itu kemudian menempelkan kedua lengan mereka pada semacam cetakan gambar Naga yang ada di kedua sisi gentong tembaga pansa itu.
 
Konon, menurut sejarahnya, tato pada awalnya ditemukan di Egypt pada waktu pembangunan The Great Pyramids, dan saat orang-orang Egypt memperluas kerajaan mereka, seni dari tato pun ikut menyebar. Perkembangan peradaban dari Crete, Yunani, Persia, dan Arabia semakin memperluas bentuk seni tersebut. Sekira 2000 SM, seni tato menyebar ke Cina.
 
Kata tattoo berasal dari Tahitian, “tatu” yang berarti “ untuk menandakan sesuatu”. Maksud dari menato ada bermacam-macam, dari mulai alas an kebudayaan sampai sesuatu yang dianggap modis dan trnsi. Tato memiliki sesuatu yang sngat penting dalam sesuatu ritual atau tradisi. Di Borneo misalnya, para wanita menato dirinya sebagai symbol yang menunjukan keahlian khusus mereka. Suku Maori di New Zealand membuat tato yang berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Di kepulauan Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka. Hampir sama seperti diatas, orang-orang Nuer di Sudan memakai tato untuk menandai ritus inisiasi pada anak laki-laki. Orang-orang Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukan status sosial tertentu.
 
Sementara itu, di Indonesia, pernah ada masa-masa ketika tato dianggap sebagai sesuatu yang dianggap momok. Setiap oaring yang memakai tato dianggap identik dengan penjahat, rampok, gali, dan orang nakal. Anggapan negative seperti ini secara tidak langsung mendapat “pengesahan” di berbagai kota di Indonesia.
 
Brita L. Miklouho-Maklai dalam tulisannya “Menguak Luka Masyarakat”, menyebutkan bahwa para penjahat kambuhan itu kebanyakan diidenfikasi melalui tato, untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang disembarang tempat seperti sampah. PAdahal, tidak semua oaring bertato itu penjahat. Tetapi, mengapa sampai terjadi adanya generalisasi seperti? Sayangnya belum ada penelitian mendalam yang bisa menguak pergeseran makna tato dari ukiran dekoratif sebagai penghias tubuh menjadi tanda cap bagi para penjahat.
 
Sebelum tato dianggap sebagai sesuatu yang trendi dan fashionable seperti sekarang ini, tato memang dekat dengan budaya pemberontakan. Anggapan negative masyarakat tentang tato dan larangan memakai rajah atau tato bagi penganut agama tertentu semakin meyempurnakan image tato sebgai sesuatu yang dilarang dan haram. Oleh karena itu, memakai tato sama dengan memberontak terhadap tatanan nilai sosial dan agama yang ada.
 
WALAU dulu tato dianggap hal yang tabu dan jelek, sekarang ini tato dianggap sebagai sesuatu yang modis dan trendi. Tato tai lalat, tato untuk memerahkan bibir, tato alis samapi tato gambar “yang memindahkan canvas lukis” ke seluruh badan. Bahkan, para peminatnya kini bukan hanya pada kalangan biasa atau pada orang-orang iseng yang ingin gagah-gagahan. Para artis kini banyak yang menggunakan tato sebagai aksesori. Sebut saja beberapa artis seperti Andi/rif, presenter beken Jodi dan penyanyi cantik Nafa Urbach. Ini menunjukan bahwa tato dewasa ini menjadi tren yang dianggap wajar di masyarakat. Selain dijadikan sebagai wahana berekspresi untuk seniman tatonya.
 
Banyak para seniman tato yang eksis dengan hasil karyanya. “Saya beserta rekan, ingin lebih memasyarakatkan tato sebagai sebuah karya seni,”Ujar seniman tato Kota Bandung, Yusepthia Soewardi.
 
Untuk pencapaian hasil gambar yang sempurna, pria yang akrab disapa Kent-kent ini tidak tanggung-tanggung menggunakan bahan tinta Intenze paroduk Austria untuk tatonya. Berbeda dengan tinta biasa, tinta Intenze kokon mengandung antibiotic yang bisa mencegah kanker kulit, selain pilihan warna yang bervariasi mencapai 53 warna berbeda. Hal ini didukung pula dengan keunggulan mesin tatonya yang sengaja ia pesan langsung dari Amerika. Sudah dapat dipastikan, hasil gambarnya menjadi lebih bagus dan sempurna.
 
Meski pada awalnya Kent-kent pernah menggeluti “tato penjara” yang penggarapannya dilakukan secara asal, belakangan Kent-kent mengubah image negative tentang tato dengan memberlakukan aturan-aturan tertentu untuk proses pembuatan tatonya. Misalnya dengan pemilihan motif tato yang disesuaikan dengan warna kulit klien, samapai pada tahap penjagaan kesehatan dari mulai pemakaian sarung tangan plastic, hingga sterilisasi pada media tato dengan menggunkan alkohol.
 
Seni tato pun ternyata mengenal berbagai macam aliaran. Menurut Kent-kent di dalam seni tato diklasifikasikan menjadi 6 bagian, yaitu :
  1. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan alam atau bentuk muka
 
  1. Treeball, merupakan serangkaian gambar yang dibuat menggunakan blok warna. Tato ni banyak dipakai oleh suku Maori.
 
  1. Outschool, tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman dulu, seperi perahu jangkar atau simbol yang tertusukl pisau.
 
  1. Newschool, gambarnya cenderung mengarah ke bentuk graffiti dan anime.
 
  1. Biomekanic, berupa gambar aneh yang merupakan imajinasi dari teknologi, seperti gambar robot, mesin dll.
 
Nuansa tato yang kian beranekaragam ini, semakin menambah maraknya dunia tato dan penggemarnya yang secara tidak langsung akan membuat image masyarakat tentang tato menjadi lebih baik, tidak dipandang sesuatu yang tabu lagi. Ini sebagai gambaran kondisi keadaan zaman yang melahirkan konstruksi yang berbeda dari zaman ke zaman. Dulu dianggap buruk, sekarang tato dianggap sebagai sesuatu yang modern. Kalau era ini berakhir, bukan hal yang mustahil kalau tato bisa dianggap sebagai penunjukan “status kelas sosial”. (Roby Sobardi)